Text
Kepemimpinan sEPANJANG Zaman
Wacana tentang kepemimpinan adalah perkara biasa bagi mereka yang pernah dididik sebagai perwira. Sebab lembaga pendidikan calon perwira, seperti Akmil, AAL, atau AAU, selalu diasumsikan sebagai sekolah untuk calon pemimpin. Tidak mengherankan bila Freddy Numberi begitu fasih berbicara tentang gagasan kepemimpinan karena memang terlatih sejak ia masih menjadi taruna (kadet) AAL pada 1960-an.
Tema kepemimpinan selalu menjadi topik bahasan para perwira TNI dari generasi ke generasi. Dari generasi yang lebih senior, terdapat nama Letjen TNI (purnawirawan) Sayidiman Suryohadiprojo. Kemudian, dari generasi yang lebih baru, bisa disebut nama Jenderal TNI (purnawirawan) Susilo Bambang Yudhoyono (kini Presiden RI) dan Mayjen TNI Moeldoko (Pangdam XII/Tanjungpura, calon Pangdam III/Siliwangi).
Salah satu pemikiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dianggap monumental adalah orasinya di Seskoad pada 1990. SBY berbicara tentang pengembangan SDM perwira ABRI (TNI) di masa depan, khususnya di milenium baru sekarang ini. Dalam makalahnya itu, SBY banyak merujuk pada pemikiran Alvin Toffler dan John Naisbitt, yang memang sedang nge-tren pada saat itu, meski sebenarnya lebih cocok untuk kepemimpinan di dunia bisnis.
Kemudian Mayjen TNI Moeldoko (lulusan terbaik Akmil 1981) sebagai eksponen generasi terbaru TNI yang telah menyumbangkan pemikiran tentang gagasan kepemimpinan, yang dia tulis menjelang promosinya sebagai perwira tinggi pada 2006. Salah satu poin penting pemikiran Moeldoko: dia mengintrodusir nilai (prinsip) "militansi" dalam kepemimpinan, khususnya di TNI. Istilah militansi yang biasanya berkonotasi negatif, karena identik dengan gerakan ekstrem, oleh Moeldoko ditafsirkan kembali sebagai bersemangat tinggi.
Begitu juga pemikiran Freddy Numberi. Meski konsep kepemimpinan yang dia maksud untuk lintas sektoral, referensi Freddy tidak lepas dari figur militer, antara lain Jenderal Douglas MacArthur. Nilai yang bisa dipetik dari MacArthur adalah kemauan dan kemampuan seorang pemimpin untuk mendengar masukan dari para perwira bawahannya, bahkan dari prajurit (tamtama) sekalipun.
Soal nanti sang pemimpin tidak memanfaatkan masukan atau informasi bawahannya, itu soal lain. Prinsip mau mendengarkan inilah yang dipraktekkan Freddy, setidaknya sejak masuk jajaran perwira tinggi sebagai Komandan Lantamal V (1996) hingga menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan serta berlanjut menjadi Menteri Perhubungan (2009-2014).
Freddy juga percaya bahwa kepemimpinan militer masih menjadi model terbaik dalam membangun Indonesia, meskipun asumsi ini tidak bisa diartikan bahwa kepemimpinan militer lebih unggul dari yang lain. Kepemimpinan militer dianggap lebih siap karena dukungan lembaga pendidikannya. Setiap jenjang jabatan selalu dibarengi dengan proses pendidikan, mulai tingkat akademi angkatan, suslapa, sesko angkatan, hingga Lemhannas.
Salah satu prinsip kepemimpinan militer adalah keteladanan. Seorang pemimpin (komandan) tanpa keteladanan adalah pemimpin tanpa karisma, yang hanya akan menjadi bahan tertawaan anak buah. Buku ini juga berhasil mengaktualisasikan situasi terkini di Tanah Air, sebagaimana tertulis di halaman 12: "... bila terjadi kemacetan dalam satu bagian dari sistem organisasi, dan pemimpin itu tidak paham di bagian mana yang macet dan bagaimana memperbaikinya, cepat atau lambat, ia akan menuai badai kegagalan di kemudian hari."
Narasi itu seperti mengingatkan kembali tentang tanggung jawab moral seorang pemimpin, sebagaimana acap dikatakan bahwa jabatan adalah amanah, bukan untuk kebanggaan diri dan keluarganya. Sejarah telah memberi cukup pelajaran, bila seorang pemimpin abai terhadap rakyat yang dipimpinnya, pada gilirannya nanti gantian rakyat yang mengabaikan sang pemimpin.
Tidak tersedia versi lain