Text
Pedoman Pendidikan Modern
alam pendidikan Indonesia, rasanya kita sudah tak asing mendengar nama pejuang pendidikan seperti KH Hajar Dewantara, RA Kartini dan pejuang pendidikan lainnya. Mereka dinilai sukses menanamkan dan menyebarkan virus nasionalisme melalui karyanya. Tidak mengherankan, gelar pahlawan nasional pun berhak disandangnya. Sebuah pengakuan penting yang diberikan kepada pemerintah untuk orang yang berjasa mengharumkan nama bangsa.
Tapi ada yang seringkali luput dari dunia pendidikan Indonesia, yakni peran ulama dan kyai dalam mencerdaskan anak bangsa. Sebagai bangsa yang mayoritas Islam, kita agaknya terlalu sering melupakan peran ulama. Padahal, selain memperjuangkan kepentingan nasional dengan gerakan revolusionernya, para ulama juga memberikan pendidikan ilmu dunia dan pembinaan ilmu akhirat kepada rakyat. Mereka dapat dikatakan sosok muslim pejuang yang menegaskan, cinta tanah air adalah bagian dari keimanan.
Salah satu ulama yang sekaligus pendidik dapat ditemui dalam kepribadian dan sosok KH Zainuddin Fananie, salah satu founding fathers Pondok Pesantren Islam modern Gontor. Ulama yang pernah berkontribusi aktif dalam pergerakan Islam dan kebangsaan ini menjadi sosok pendidik yang menganggumkan. Dalam kerja nyata, beliau pernah menjadi konsul Muhammadiyah di Sumatera Selatan, aktif dalam Partai Sarekat Islam Indonesia dan pernah menjabat Pekerja Badan Harian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tak hanya berhenti dalam beramal, ulama besar ini juga menyumbang delapan buku penting yang mengajarkan kepemimpinan, pendidikan, rumah tangga dan kepribadian muslim.
Secara umum, buku yang ditulis ulang setelah hampir 76 tahun tersimpan di Belanda ini menggagas konsep pemikiran pendidikan yang cukup visioner. Pertama, belakangan ini kita sering mendengar pemerintah terus menggaungkan pendidikan karakter. Banyak yang menilai, konsep itu murni pemikiran Barat. Tapi ternyata pandangan itu dirasakan kurang tepat setelah Anda membaca buku. Sebab, KH Zainuddin Fananie ternyata sudah aktif sejak dahulu mengembangkan konsep pendidikan karakter.
Beliau membagi pendidikan menjadi dua, pendidikan jasmani (pendidikan kekuatan fisik) dan ruhani (pendidikan kesehatan mental). Pendidikan ruhani dibagi menjadi dua, pendidikan akal dan budi pekerti. Pendidikan akal bertujuan agar peserta didik menjadi pribadi yang logis, kreatif dan kritis. Sedangkan budi pekerti bertujuan menghasilkan manusia Indonesia yang berintegritas, hati yang suci dan terus bergerak dalam upaya berlomba-lomba dalam kebaikan.
Kedua, konsep pendidikan rumah (homeschooling) Sejujurnya, penulis dibuat kaget bahwa konsep pendidikan homeschooling yang belakangan cukup ramai diperbincangkan ternyata sudah dikembangkan kyai kharismatik ini. Dalam salah satu pandangannya, KH Zainuddin Fananie menyatakan, “Jika sekolahan tidak membuat anak semakin baik, maka orang tua dapat mendidik anaknya di rumah. Dengan syarat, ada peraturan dan dipakainya sistem pendidikan sekolahan, orang tua menjadi gurunya”
Pandangan ini meninggalkan tiga pesan penting dalam kehidupan orang tua dan anak. Pertama, jika mempercayakan anak ke sekolahan, maka orang tua tetap tidak boleh melepaskan tanggung jawab mendidik dan mengasuhnya. Kedua, pendidikan di rumah (pendidikan keluarga) adalah pendidikan informal bagi anak dan sekolahan pertama bagi setiap manusia. Ketiga, sekolah harus mengajarkan pendidikan keagamaan (dalam hal ini, agama Islam) bukan hanya mendidik kecerdasan (berpijak pada intelektualisme semata) seperti yang digaungkan KI Hajar Dewantara.
Ketiga, dewasa ini kita mengenal adanya pramuka di setiap sekolah. Sungguh tak banyak yang tahu, dimana kolonial sudah berkembang pendidikan serupa yang dinamakan kepanduan. Mereka (pandu) mendasarkan gerakannya kepada tiga janji: janji membela bangsa dan agama, menolong orang lain dan menjalankan undang-undang pandu yang terdiri dari sepuluh bagian. Pendidikan kepanduan dirasakan penting dalam mendidik manusia Indonesia agar mandiri, cerdas, kreatif dan kuat fisiknya. Itu mengapa, kegiatan kepanduan mengarah kepada tujuan besar tersebut seperti kemping (Fananie mengistilahkannya “Kamping”, olahraga, games edukatif dan lainnya.
Keempat, pentingnya memberikan reward and punishment (penghargaan dan hukuman). Apresiasi perlu diberikan kepada peserta didik yang disiplin, menorehkan prestasi dan memiliki rekam jejak yang baik. Hukuman diberikan kepada peserta didik yang melanggar aturan sehingga menimbulkan efek jera sehingga tak mengulangi kesalahannya di kemudian hari. Untuk memberikan hukuman, KH Zainuddin Fananie menekankan beberapa eiika seperti tidak mengandung kekerasan, seimbang dengan kesalahan yang diperbuatnya, tidak diskriminatif dan bersifat mendidik.
Itulah sekelumit pemikiran pendidikan seorang ulama yang sekaligus pejuang pendidikan di Indonesia. Selayaknya pemikir Islam, beliau tak hanya menekankan aspek materialisme dalam mendidik generasi masa depan sebagaimana dikumandangkan pemikiran pendidikan Barat yang mengacu kepada Yunani dan Romawi. KH Zainuddin Fananie, menjelaskan konsep pendidikan yang integral dengan berpijak kepada apa yang disebut dalam dunia pendidikan modern sebagai dimensi kognitif (pengetahuan/intelektual), afektif (emosional) dan psikomotorik (spiritual). Melalui buku ini, beliau juga mengajak kita untuk berfikir seimbang dengan tidak sepenuhnya anti Barat, sebagai modernitas banyak berasal dari Barat, tetapi menyaring pemikiran Barat yang sesuai dengan konsep ke-Indonesiaan dan ke-Islaman.
Tidak tersedia versi lain