Text
Membela Agama Tuhan : Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global
Surat Imam Samudera—tersangka kasus Bom Bali—yang dikutip Eko Prasetyo dalam halaman terakhir (hlm. 298) bagian epilog bukunya tersebut menyiratkan betapa kukuhnya keyakinan kaum fundamentalisme agama dalam melakukan perjuangannya di jalan Tuhan. Mereka tidak segan untuk mengorbankan seluruh yang dipunyainya baik harta, kehormatan, jiwa, dan raganya demi tegaknya perintah Tuhan yang ada dalam kitab suci yang diyakininya.
Masyarakat awam maupun terpelajar banyak yang melihat gerakan fundamentalisme agama yang dinamai pembela agama Tuhan ini sebagai kelompok orang yang bodoh, radikal, dan tidak tahu aturan. Pandangan mereka terhadap kaum fundamentalisme agama yang miring tersebut, banyak berdasarkan pada informasi yang diperoleh dari media massa yang mereka baca, yang seringkali hanya mengkaji permukaannya saja atau bahkan tidak objektif dalam melihatnya.
Eko Prasetyo melalui buku ketiga yang ditulisnya tersebut ingin memaparkan potret sesungguhnya dari gerakan fundamentalisme agama Islam di Indonesia yang diwakili oleh Laskar Jihad. Meskipun gerakan fundamentalisme agama Islam banyak ragamnya seperti Front Pembela Islam, Laskar Hizbullah, Majelis Mujahidin, N11, dan lainnya, namun mereka disinyalir memiliki ciri-ciri yang sama dalam perjuangannya. Ciri yang sama dalam perjuangan mereka yakni melawan penindasan dan ketidakadilan dengan menegakkan perintah Tuhan di dunia.
Secara komprehensif, Eko menuturkan gerakan fundamentalisme agama di Indonesia dengan pendekatan antropologis melalui penelitiannya yang menggunakan pengamatan terlibat (partisipant observation) dan wawancara mendalam dengan mengikuti berbagai aktivitas yang dilakukan oleh Laskar Jihad dan beberapa organisasi Islam lainnya. Dengan demikian, Eko sebenarnya berprofesi seperti “mata-mata” yang penuh empati dan simpati dengan mereka yang dimata-matai. Sehingga, buku ini nampak seperti pembelaan Eko terhadap gerakan fundamentalisme agama bahwa mereka tidak sebodoh, sekejam, dan seliar yang disangkakan banyak orang. Melalui pengalamannya dalam berinteraksi dengan Laskar Jihad, Eko berpendapat bahwa Laskar Jihad tidak seseram yang diduga, mereka adalah gerakan sosial yang menarik untuk diajak dialog dan diskusi (hlm. xvii).
Eko menuturkan bahwa gerakan fundamentalisme agama tersebut muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme global yang disponsori terutama oleh Amerika Serikat. Gerakan fundamentalisme agama ini ingin didengar suaranya dan ingin diakui eksistensinya untuk membangun sebuah peradaban di dunia yang direstui oleh Tuhan. Namun, hegemoni kapitalisme global terhadap dunia terutama melalui penguasaan media informasi dan teknologi, secara ironi telah menyeragamkan dunia dan tidak memberikan kebebasan kepada kelompok-kelompok yang tidak sepakat dengan kapitalisme global.
Mereka—gerakan fundamentalisme agama—selama ini merasa sebagai kaum tertindas. Mereka merasa bahwa sistem ekonomi dan politik dunia yang dihegemoni kapitalisme global—termasuk di Indonesia—sangat diskriminatif terhadap mereka. Bahkan kaum fundamentalisme pasar sebagai pendukung utama kapitalisme global menuduh mereka sebagai kaum teroris yang harus dibasmi karena membahayakan perdamaian dunia terutama pasca peledakan gedung WTC di Amerika Serikat dan tragedi peledakan bom di Bali. Hal inilah yang membuat kaum fundamentalisme agama atau pasukan pembela Tuhan terus mengobarkan semangat jihad melalui jaringan yang dipunyainya untuk menegakkan syariat Islam dan membangun peradaban dunia yang direstui oleh Tuhan. Dengan berbagai kegiatannya, kaum fundamentalisme agama ini sebenarnya memiliki potensi untuk mempertanyakan kembali tentang kebenaran dogma demokrasi, hak asasi manusia, dan globalisasi yang disponsori oleh kapitalisme global sebagai akhir sejarah manusia (the end of history).
Buku ini menjadi penting dibaca karena pembaca akan diajak untuk berempati dengan gerakan fundamentalisme agama Islam yang selama ini dipandang sebelah mata. Mungkin kalangan pendukung sekulerisme, Islam Inklusif, Jaringan Islam Liberal, dan kelompok yang sejenis akan berpikir ulang dengan keyakinan dan pandangannya selama ini terhadap kaum pembela Tuhan ini. Mereka—kaum fundamentalisme agama atau pembela Tuhan—tidak memusuhi kaum sekuler (hlm. 288), Islam inklusif ataupun Islam Liberal. Mereka perlu dipahami dan mungkin dibantu untuk melawan penindasan yang dilakukan kaum fundamentalisme pasar sebagai sponsor utama kapitalisme global.
Tidak tersedia versi lain