Text
Buku Tentang Ruang : Kumpulan Puisi
ruang bukanlah sesuatu yang memiliki pusat. Ruang bukanlah ruang dengan batas-batas beku seperti yang kerap kita pahami. Ruang bukan sesuatu yang benar-benar terpisah, antara "di luar" atau "di dalam". Kita tak lagi percaya ada sesuatu yang menjepit, atau mengkotak-kotakkan, di antara batas. Saya kutip sebagian sajak Paviliun:
Realitas telah menyembunyikan luar dari dalam dan dalam dari luar. Lalu pohon-pohon kau letakkan begitu saja dalam kotak-kotak kaca agar mereka percaya bahwa mereka tetap berada di luar juga aman di dalam. Dan tanah gembur itu menjulurkan lidah, percaya bahwa hujan yang terhalang atap akan jatuh pada mereka satu hari kelak.
Avianti Armand berusaha mempuisikan makna dengan melakukan personifikasi pada benda-benda: pohon-pohon yang percaya bahwa mereka akan aman, dan tanah gembur yang percaya bahwa hujan akan turun membasahinya. Tetapi kenapa sang pengarang mengira bahwa pohon-pohon dan tanah gembur akan percaya?
Ada yang ambigu di sana. Pohon-pohon dipersepsikan tidak lagi elemen suatu landskap, melainkan elemen yang ekuivalen dengan bangunan dalam ruang yang kita huni. Sebuah paviliun, ruang dengan batas antara ada dan tiada, seperti satu upaya penggambaran untuk bebas dan lepas dari satu sisi perspektif. Mereka menyatakan sesuatu. Tapi apa yang kita tahu?
Avianti Armand menulis sajak Paviliun di atas "untuk Junya Ishigami". Perlu kita ketahui, Junya Ishigami adalah arsitek dengan konsep tertentu tentang arsitektur. Dalam satu interviu di Kortrijk, Ishigami menyebut orang-orang sering melekatkan karyanya dengan sesuatu yang transparan, ringan, dan berkaitan dengan alam. Ia tak menolaknya. Ishigami ingin berbicara batas baru dalam arsitektur, seperti dinding yang tak kelihatan di udara. Sebagai hasilnya: paviliun "Extreme Nature: Landscape of Ambiguous Spaces" yang dipamerkan dalam Venice Biennale 2008. Paviliun itu dibatasi dinding kaca yang tebalnya hanya 8 milimeter. Jika kita berjalan di dalamnya, di antara tanah, pohon, dan kaca, kita akan segera merasa apa yang interior dan eksterior menjadi hilang atau samar. Dari situ saya kira sajak Paviliun menangkap idenya.
Dalam Buku tentang Ruang, tiga sajak lain yang ditulis Avianti Armand "untuk Junya Ishigami" adalah sajak Kubus, Meja, dan Hutan. Dengan sedikit riset, kita akan mengetahui bahwa judul-judul itu merupakan kata kunci yang meringkas tema besar karya Ishigami: "Balloon" berbentuk kubus di The Museum of Contemporary Art di Tokyo tahun 2007; "Little Gardens" berupa meja yang berisi 370 gelas kecil dengan panjang 12 meter dan ketipisan hingga 5 milimeter; serta studio dengan tiang-tiang putih tipis dan tanaman di dalam yang serupa hutan di Kanagawa Institute of Technology, Tokyo. Melalui karya-karya itu Avianti Armand menulis sajak tentang "kubus raksasa yang melayang" dan memiliki "sudut yang tajam" (dalam puisi Kubus), "satu bidang putih" berbentuk meja yang ketipisannya serupa "sunyi" (Meja), dan ruang kerja yang seperti "hutan putih" dengan tiang-tiang berwarna putih yang bisa dibayangkan sebagai pohon abstrak (Hutan).
Satu hal yang saya lihat, baik Avianti atau Ishigami memperlihatkan kemahiran masing-masing untuk merepresentasikan obyek-obyek (yang seolah-olah hidup) dalam medium yang berbeda. Pilihan tema dalam sajak-sajak Avianti berhasil ikut serta menunjukkan semangat Ishigami untuk tidak terpaku pada struktur bangunan seperti gedung yang selama ini menahan potensi yang dibayangkan orang tentang arsitektur. Dalam puisi Kubus, misalnya, kita mengamati refleksi Avianti terhadap balon kubus Ishigami―dan kita menyebutnya arsitektur.
Dari latar belakang itulah kita merasa bahwa suatu benda bukan semata-mata alat-alat pengisi ruang, melainkan menyatu dengannya. Benda dan ruang tidak berhenti sebagai pemikat pandangan. Benda-benda, bersama arsitektur lainnya, seperti berbicara mengungkapkan ekspresi dirinya pada kita. Maka jika ruang membuka tafsirnya secara luas sebagai suasana yang tercipta dari benda dan tempat, mulai dari situ kita menganggap kenangan-kenangan lama, peristiwa-peristiwa, atau ingatan-ingatan kecil yang muncul sebentar sebagai elemen penting dari ruang―yang seterusnya direkam dalam sajak.
Dan bila saya tak keliru, itu berarti ruang adalah gelas atau pintu atau pagi yang "memilih/ memorinya sendiri". Atau patio yang berusaha untuk tidak berterus terang sebagaimana saya kutip di sini:
Patio itu punya segala hal yang dia butuhkan
untuk bisa hidup dengan baik:
oksigen, cahaya, dan sudut yang tepat
untuk menunggu.
Ingatan yang negatif telah dicetaknya
jadi halaman-halaman positif di pangkuan.
Tatapan murung. Ekspresi bosan.
Tak ada yang akan percaya.
Katanya: "Kita perlu latihan
untuk bisa bersedih
dengan meyakinkan."
Patio itu tak berhenti menjadi ruang yang mandeg dan terpajang: ia juga sebentuk perasaan. Patio itu diam, seperti menunggu, seperti bosan, tapi arsitektur membuatnya dramatis. Detik-detik, benda-benda, udara, cakrawala, momen-momen yang lambat, bisa jadi penting di sini. Dan dari sana, di bawah sorotan cahaya, hal-hal itu terhubung. Lalu puisi membangkitkannya menjadi kata yang menghadirkan suatu emosi dan pikiran tertentu. Puisi Avianti, arsitektur Ishigami, memberi nafas pada patio, jendela, gelas, atau paviliun untuk menegaskan diri bukan sekedar sebagai konstruksi atau seni.
Melalui puisi, ruang dan benda yang diam adalah juga ingatan perasaan atau bisikan dari gelora hati sehari-hari.
Tidak ada salinan data
Tidak tersedia versi lain