Text
Postmodern dalam Jejak Puisi
TEORI postmodern tak harus dihadirkan melalui konsep filosofis yang sukar dicerna, tapi dapat pula disampaikan dengan puisi-puisi indah yang enak dibaca. Hal inilah yang melatari Muhammad Hayat, dosen sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), menulis buku “Postmodern dalam Jejak Puisi: Cara Mudah Memahami Teori Postmodern”.
Bagi Hayat, postmodern bermakna menghadirkan manusia sebagai subjek. “Selama ini, manusia telahkehilangan dirinya sebagai subjek dalam belantara modernitas,” kata Hayat saat peluncuran dan bedah buku yang berlangsung di heliped UMM, Jumat (10/4/2015).
Passion-nya terhadap dunia postmodern dalam perspektif Sosiologi Pembangunan dan kesukaannya membuat puisi ia padukan hingga terbitlah buku ini. Secara umum, buku karya Hayat ini berupaya mengangkat substansi postmodern dengan narasi puisi yang estetik.
“Saya melihat ada ruang gairah yang berbeda dan luar biasa di kelas ketika saya mengajar teori postmo dengan membacakan syair-syair,” paparnya. Dengan cara ini, ia ingin memberi pemahaman sederhana tentang teori postmodern tanpa kehilangan substansinya.
“Yang terpenting tidak kehilangan substansi,” jelasnya.
Dalam sesi bedah buku, hadir pula guru besar sosiologi agama UMM Prof Dr Syamsul Arifin danpengamat budaya UMM Dr Arif Budi Wuryanto sebagai pembedah. Menurut Syamsul, buku yang membahas teori postmo melalui puisi sangatlah unik. Baginya, buku ini merupakan wujud eksperimen penyampaian teori dalam bentuk yang berbeda.
“Buku ini menarik. Bisa dikatakan buku ini merupakan pionir dalam menyajikan teori postmodern lewat puisi,” ujar Syamsul yang baru-baru ini meluncurkan bukunya mengenai studi Islam kontemporer ini.
Selain mengapresiasi, Syamsul juga memberi kritik pada buku ini. Ia mengatakan, buku ini semestinyamenelusuri latar belakang munculnya postmo terlebih dahulu. Selain itu, katanya, ia khawatir buku ini lebih kuat dalam aspek berpuisi ketimbang sisi postmodern-nya.
Berbeda dengan Syamsul, Arif Budi mengatakan, dalam buku ini ia melihat tanda semiotik sebagai hiperrealitas. “Di buku ini kita bisa melihat suatu fakta yang dipadu angan-angan, sebagaimana sifat sastra yang imajinatif. Saya kira mahasiswa sosiologi harus membaca buku ini,” ujarnya.
Di akhir acara, Hayat membaca salah satu puisi dalam bukunya dengan lantang. Ia berharap, buku ini bisa memberi jejak substansi pada manusia yang kehilangan dirinya sebagai subjek.
“Semoga pembaca dapat mengambil seremah, ataupun setitik kesadaran di era postmodern ini. Ambillah sedikit, meski setitik. Tapi setitik itu yang akan memberikan hak hidup yang luar biasa pada pikiran sebagairuang kontemplasi,” imbuhnya.
Tidak tersedia versi lain